Dua laboratorium bahasa yang terdapat di SMP Negeri 1 Sedayu dinilai cukup memadahi. Ruangannya luas, berAC, tidak bau, dan tenang. Para siswa merasa nyaman ketika hendak menerima pelajaran pelajaran disana. Namun, sudah maksimalkah pemanfaatan kedua laboratorium itu?
Sudah hampir tiga tahum saya menjadi siswi SMP Negeri 1 Sedayu. Sejak kelas 7 saya sudah menerima mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Namun baru empat kali saya menerima pembelajaran di laboratorium bahasa. Ini membuktikan bahwa pemanfaatan kedua laboratorium itu sangat kurang.
Banyak siswa yang mengeluh karena pemanfaatan fasilitas yang kurang maksimal. Sebaiknya para guru yang bersangkutan lebih mengoptimalkan penggunaan laboratorium tersebut.
Princa Mulia Arum Prasetyo
9A/21
Rabu, 26 Januari 2011
Rabu, 12 Januari 2011
Gagal Jadi Pelajar Kota
Dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung. Pepatah itu menjadi separuh semangatku saat ini. Dimana aku adalah seorang perempuan kecil yang beratus-ratus hari lalu menginginkan namaku tercantum pada daftar siswa SMP Negeri di Yogyakarta.
Aku Cicha, salah seorang siswi kurus di SMP Negeri 1 Sedayu. Sebelumnya tak pernah terlintas aku memiliki kartu pelajar SMP Negeri 1 Sedayu. Ceritaku berawal disini, saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, SD Negeri 1 Godean. SD yang terlalu aku banggakan.
Mei 2008, dimana aku dan temen-temen menempuh UASBN. Dengan persiapan yang menurutku sudah terlalu matang, ku lalui UASBN dengan peuh rasa percaya diri. Hingga akhirnya 21 Juni 2008 tiba. Hari yang kun anti, ku buka amplop putih yang ku pegang erat di tangan kananku. Aku masih ingat betul sebelum amplop itu sampai ke tanganku, wali kelasku, bapak Achiyadi memelukku dengan erat. Entah, wakktu itu aku belum mengerti apa maksud pelukan pak Yadi. Dan semua terjawab setelah aku membuka amplop itu, nilaiku hancur, ya 26,25 empat digit angka yang aku baca.
Awalnya aku masih mengandalkan program kerja sama antara SDku dengan SMP Negeri 1 Godean, bahwasanya 25% peringkat teratas langsung diterima tanpa syarat, akan tetapi saat itu hanya 20% yang diambil, padahal jikalau masih 25% aku masuk dengan urutan terakhir. Aku masih berfikir positif, mungkin aku bisa masuk dengan jalur regular, tetapi apa dayaku, SMP N 1 Godean tidak membuka PPDB jalur regular, penuh dengan jalur prestasi jalur prestasi dan jalur prestasi. Entah dimana kebijaksanaan waktu itu, terlampau banyak siswa masuk dengan jalur prestasi yang nilainya lebih rendah dari aku, hanya karena mereka mendapat peringkat di SDnya. Sekilat itu aku menyimpan dendam, dendam yang ku pendam.
Air mataku menetes dengan lembut, aku bertanya, “Tuhan, apa ini?” Aku mengecewakan kedua orang tuaku, nilai yang ku dapatkan tidak buruk, namun nilai teman-temanku lebih tinggi daripada aku.
Aku masih yakin bisa masuk di SMP Negeri di Yogyakarta, dengan rasa optimis aku mendaftarkan diri di SMP kota. Saat itu PPDB SMP di kota menggunakan system RTO, calon siswa memilih 5 alternatif sekolah. Aku mengisi pada formulir itu dengan perincian SMP Negeri 8 Yogyakarta, SMP Negeri 6 Yogyakarta, SMP Negeri 1 Yogyakarta, SMP Negeri 2 Yogyakarta, dan SMP Negeri 7 Yogyakarta, berbekal C1 Kabupaten Bantul yang hanya mendapat ruang sebesar 20% .
Hari pertama aku masuk aman di SMP Negeri 6 Yogyakarta. Namun saat hari kedua, Princa Mulia Arum Prasetyo sebegitu cepatnya tergusur oleh nilai-nilai yang jauh diatasku. Kekecewaan mulai tumbuh. Pada pukul 13.00 di hari kedua PPDB, aku sudah dinyatakan tidak lolos. Saat itu pamanku yang mencabut berkasku. Kecewa, kata itu yang mengisi menit-menitku saat itu.
Akhirnya pada hari ketiga, ibuku memasukkan formulir PPDB di SMP Negeri 1 Sedayu. Ya, terjawab sudah, dengan kekecewaan yang begitu dalam, ku mantapkan langkahku. Sulit untuk beradaptasi dengan semua, terlebih hati kecilku mengatakan tidak ingin.
Dan kini, aku percaya Tuhan maha adil. Dengan seluruh tekadku, aku mengabdi pada SMP Negeri 1 Sedayu. Jabatan Ketua OSIS masih ku pegang hingga sekarang. SMP Negeri 1 Sedayu siap menghantarkan aku menjadi orang sukses. Aku percaya akan hal itu.
Berbekal judul ‘Gagal Jadi Pelajar Kota’ aku menilaikan cerita singkat peristiwa ini saat Ibu Ani Setyowati meminta untuk membuat cerpen dengan catatan peristiwa pribadi. Dan pada tanggal 7 Agustus 2010, beliau mengembalikan buku tugasku. Air mataku tertetes seketika aku melihat tinta biru berangkai milik bu Ani yang terbaca AMIEN di akhir paragraph terakhirku :”
-Princa Prasetyo-
Langganan:
Postingan (Atom)